Udah jengah belum sih lihat beranda sosial media yang bahas itu-ituuuu aja. Seandainya kita nggak suka sama isue tertentu, makin emosi aja lihat informasi-informasi baru yang keliaran di beranda. Dari masing-masing orang menanggapi isue itu berbeda-beda. Ada yang makin emosi, makin takut dan parno, atau ada yang makin liar sampai fanatik.
Semua pasti udah tahu kan Facebook itu dibuat oleh manusia. Bikin sebuah sitem komunikasi sosial itu juga pakai metode. Masih ingat betul dulu ketika aku kuliah di Sistem Informasi, sebelum buat sebuah sistem aku diajarin dulu:
Nah, metode yang dipakai oleh Facebook dan kawan-kawannya ini sekarang pakai Bubble Algorithm alias Algoritma Gelembung.
Dulu aku diajarin nih, sorting data menggunakan metode Bubble Sort. Metode yang paling sederhana dan mudah dipahami banget dengan logika. Misal ada data yang acak:
5, 2, 7, 2, 1, 1,
Nantinya akan diurutin tapi tahapnya perlahan namun pasti menjadi:
Prinsipnya mengurutkan dari terkecil hingga terbesar. Dari contoh di atas, perhatikan angka 2, 2. Setelah diurutin dan secara nggak langsung berkelompok dengan sejenisnya. Sederhananya seperti itu sih. Meski pada praktiknya di Facebook itu lebih rumit karena penggunanya di seluruh dunia juga dengan variable minat, hobi, dan kesukaan yang sangat buanyak sekali.
🌐 Kenapa yang Muncul Sesuai dengan Minat, Ya?
Jaringan Pertemanan adalah salah satu faktor. Biasa kita sebut lingkar pertemanan. Apalagi kalau ada yang niat ngecek dulu siapa yang
add kita, baru deh kasih keputusan terima atau tolak. Facebook membantu kita dengan keterangan data 'Teman yang Sama' atau 'Mutual Friends' ada berapa.
Kalian kaya gitu atau langsung main terima aja?
Contoh, aku di-add oleh seseorang. Nggak kenal. Bukan temen sekolah, TK - Kantor. Tapi ternyata ketika aku klik, teman yang sama adalah dari teman-teman blogku. Artinya dia masuk dalam lingkar pertemanan di blog. Ya udah, confirm boleh lah. Biasanya meski lingkar pertemanan sama, aku cenderung lihat profilnya. Kalau banyak mengundang ujaran kebencian, fanatik terhadap sesuatu, tetap nggak aku confirm.
Tentunya nanti ketika dia jadi temanku, yang bakal sering muncul adalah share post-nya dia, informasi lomba blog, kesempatan rejeki lewat blog, atau apapun tentang blogging. Kita sebagai kawan barunya akan merasa nyaman karena kita merasa apa yang dia bagi itu masih bermanfaat untuk kita.
Tapi... nantinya ini akan disaring lagi oleh algoritma yang dipakai Facebook.
Apakah rentang umur kawan baru itu masih sekolah, suka ngekuis, suka ikut lomba, suka nulis teknologi, parenting, politik dan atau lifestyle?
Mungkin pada awalnya akan sering muncul, seolah 'perkenalan', ini nih minat dia. Nanti seiring berjalannya waktu, jika apa yang dia post nggak sesuai dengan minat kita, secara otomatis apapun yang dia post nanti nggak akan muncul lagi di beranda kita.
Kecuali tulisan itu ikut dikomen oleh kawan, kontroversial/viral.
🌐 Kenapa Bisa Gitu, Ya?
Dulu, Facebook, Twitter, Instagram dll, menampilkan sesuatu berdasarkan timeline. Siapa yang post duluan dia akan berada paling atas saat kita buka. Kita kudu scroll dulu untuk bisa kesempatan baca post kawan sebelumnya.
Saat ini Facebook sudah memperbarui dengan konsep, "Mungkin Anda melewati ini...". Yaitu sebuah post lampau tapi masih relevan dengan minat kita. Jadi kita direkomendasikan apa yang kita suka sekalipun postingan itu sudah kemarin dibagikan.
🌐 Tau Dari Mana Kesukaan Kita?
Ini sering banget terjadi di aku. Aku ikut group Facebook. Di sana aktif banget. Setiap detik akan ada pembaruan entah post terbaru atau komennya. Isinya juga beragam. Dan fotonya nggak ada sensor. Jorok, berdarah, kotor, tragis, menyedihkan dan hal vulgar lainnya.
Pernah aku tertarik dengan satu post bayi dibuang. Dengan foto bayi yang menyedihkan buatku. Karena aku penasaran, bacalah aku komentarnya. Aku scroll makin dalam dan dalam.
Eh ketika kembali ke beranda, seketika muncul rekomendasi post-post serupa. Yang bikin eneg perut dan pikiran. Padahal kan aku cuma iseng sekali. Tapi dampaknya aku jadi direkomendasiin beberapa post yang mirip-mirip begituan.
Dikira seneng kali aku lihat gituan mulu.
Aku memutuskan sering skip dengan cara abaikan postingan itu.
✔ Tanpa like,
✔ Tanpa buka kolom komen,
✔ Tanpa komen juga,
✔ Tanpa klik fotonya satupun, dan
✔ Tanpa berlama-lama mantengin postingan itu.
Intinya aku bener-bener skip. Lambat laun nggak muncul lagi postingan dari group itu. Tapi kalau aku sekali-kali respon post itu, ya bakal muncul lagi. Hugh!
Gitu seterusnya.
Sesimpel itu Facebook mempelajari minat kita. Semakin kita berinteraksi dan cari tahu sebuah topik, Facebook atau media sosial apapun akan 'berbaik hati' menyodorkan lebih banyak yang relevan dengan yang kita sukai.
Bukan hanya itu, kita sering share dan update status dengan kata kunci tertentu, ya Facebook akan me-generate itu sebagai minatmu.
🌐 Beneran Baik atau Malah Buruk?
Baik sebenernya. Bagi yang menggunakan media sosial untuk berkarya ini jadi bermanfaat banget. Tadi sudah contoh di Facebook, sekarang coba kita bahas Instagram.
Aku suka apapun dari seni grafis. Baik komik, atau ilustrasi. Aku post hasil karya ilustrasiku di Instagram. Dengan hashtag yang relevan dengan ilustrasi. Misal:
#ilustrasi #ilustration #grafis #watercolow #crayon #design #desain #pen #scatch #digitalpainting #painting #gambar, #art dll.
Nanti yang
like biasanya:
🔍 Kawan yang
follow kita,
🔍 Orang yang nggak sengaja eksplor gambar dengan hashtag di atas itu tadi, dan
🔍 Keseringan scroll dan melihat apa yang sering kita lihat.
Instagram jadi tahu yang aku suka. Pas buka bagian EXPLORE akan muncul rekomendasi gambar-gambar serupa.
Dari sisi ini bisa menumbuhkan ide dan daya kreatifitas. Semakin banyak referensi akan mengasah kemampuan. Nemu teknik-teknik baru, ilmu baru, gaya baru, belajar kombinasi warna baru, dan banyak lainnya.
Positif kan?
Contoh lain, minat pada DIY, Makeup, indovidgram, musically, artis, skincare alami, dll. Nanti bakal mudah instagram merekomendasi post serupa lebih banyak dan beragam. Makin kaya ide kita!
Coba kalau kita keseringen lihat gambar dan caption pornografi, politik, dan SARA? Paling juga yang muncul meme-meme yang sama setiap harinya. Love, komen, click hashtag, dst... lengkaplah hari-hari kita dengan itu semua.
🌐 Fanatik Anti Kritik
Ketika di satu sisi media sosial berbaik hari menyodorkan isue yang relevan, di sisi lainnya media sosial menjauhkan yang nggak punya kesamaan secara logika. Pada akhirnya individu tersebut seolah dicekoki satu hal saja tanpa mau melihat sudut pandang orang lain.
Ini biasa terjadi pada isue politik, SARA, dan opini yang dibuat berdasarkan idealisme tertentu.
Dampaknya individu-individu itu menjadi terkotak-kotak, ada golongan, dan pengetahuannya terisolasi. Kalau sudah A ya A. Nggak mau menerima pandangan lain, padahal justru itu penting sekali untuk pikiran terbuka. Akhirnya jadi fanatik terhadap satu hal dan nggak mau dikritik.
Dasar! Saya seperti ini, silakan kalau mau begitu.
Seandainya berita yang diterima adalah benar sih boleh lah ya, tapi kalau yang muncul keseringan berita hoax gimana? Kita seolah makin mendalami hal yang makin nggak bener gituloh. Masalahnya individu tersebut semakin meyakini apa yang dia telan itu adalah yang bener, cuy.
Lingkar pertemanan makin sepaham. Sama-sama share hoax pula. Mudah tersulut dan terdoktrin, hm.. cucok deh. Ntar jadi kecenderungan untuk klaim kawan-kawannya itu pasti sepaham dengan dirinya. Buka kolom komentar, yang komen yang sepaham doang. Makin merasa kuat, beb! Kemudian dia menyimpulkan ini adalah suara mayoritas. Padahal di tempat lain bisa berbeda.
Pokoknya lu salah, gue yang bener!
Kalau lu nggak suka, ngapain masih di sini? Nggak perlu dibaca atau dilihat, apalagi komentar! Hidup-hidup gue, ngapain lu atur?
🌐 Click Bait Makin Asoy
Era sekarang ini memang semuanya yang punya gadget. Gaya hidupnya di depan layar kecil. Meski kecil tapi luas banget yang bisa dibuka. Semua juga serba instan. Yang biasanya kita punya informasi baru dikirim ke media cetak atau redaksi mading sekolah, sekarang tinggal klik tombol 'Share' semua bisa kebagian info yang menurut kita keren itu.
Siapa yang memfilter?
Biasanya ada redaksi yang menyortir berita bagus, narasumber jelas, data akurat, dan berbobot, di halaman kita sendiri nggak ada. Bakal diterima mentah-mentah.
Sayangnya psikologis kita ketika membaca buku media cetak dengan media online ini berbeda loh.
Padahal manfaat membaca ini salah satunya dapat mengurangi stres lebih cepat, setara dengan mendengarkan musik, jalan-jalan, atau makan dan minum menu favorit. Ini berpengaruh pada detak jantung dan ketegangan otot. Sama seperti bersantai.
Santai dengan apa yang kita minati. Surga...
Tapi kalau baca secara digital seperti media sosial, ebook dan portal berita online misalnya ternyata nggak merasakan efek ini. Malah menambah tingkat stress ke arah yang negatif.
Soalnya kita menatap layar ponsel atau laptop secara intensif. Apalagi bacanya malam menjelang tidur. Jatuhnya syaraf tegang, kaku, mata lelah karena harus menarap layar kecil dengan cahaya yang terang nggak seimbang dengan cahaya di sekitar. Apalagi kalau lampu kamarnya mati.
Ini dampaknya nambah lagi ke gangguan pola tidur dan biasanya gagal fokus. Baca A di ebook atau portal berita, malah kegoda buka link lain atau malah asyik chat atau update status trus keasyikan balas-balasan komen.
Ora sido moco wis... malah moco hoax... Ntap! 👍
🌐 Lalu?
✔ Bijaklah dalam mengelola informasi,
✔ Jangan mentah-mentah ditelan,
✔ Cari berita tandingan (dua versi atau lebih) baik dari sudut pandang A dan B bahkan jika ada C, D, E dst.
✔ Cari sumber bacaan yang terpercaya dan netral, bukan dari website abal-abal, contohnya website resmi yang ada keredaksian di dalamnya. Seperti Jawapos, Kompas, Liputan6, Line Today, Detik, dll. Kalau Tribun menurutku judulnya clickbait banget! Meski isi tetap bisa dipertanggung jawabkan. Cuma menurutku itu bahaya untuk yang sumbu pendek dan mudah terhasut hanya dari judul doang. Soalnya biasanya judul sama isi beda buanget! Ya nggak?
Kita yang harus pintar.
Gadgetnya sudah pintar kan?
Masa masih bodoh aja nelen informasi, buibu, pakbapak?
Karena Algoritma ini tuh
Yang pinter makin pinter,
Yang bodoh makin bodoh,
Yang baik makin baik,
Yang jahat juga makin jahat...
waspadalah... waspadalah!
Sumber Gambar: Freepik | Blogbiasa | Dokumen Pribadi
![]()